Keteguhan Bilal kemudian menjadi titik balik. Abu Bakar Ash-Shiddiq, sahabat Nabi yang dermawan, membebaskan Bilal dengan harta pribadinya. Setelah hijrah ke Madinah, Bilal diangkat sebagai muadzin resmi Rasulullah ï·º. Suaranya lantang dan jernih, memanggil kaum Muslimin menuju cahaya shalat lima waktu. Ia mengumandangkan azan dari atas Masjid Nabawi — bukan dengan kemegahan suara, melainkan ketulusan hati. Hingga Nabi wafat, Bilal merasa tak mampu lagi menyebut nama kekasihnya dalam azan. Ketika ia diminta azan kembali, suaranya terhenti saat menyebut “Muhammad Rasulullah”. Air matanya pecah, dan tangis jamaah pun ikut mengalir — seakan suara langit itu ikut meratapi kehilangan.
Keutamaan Bilal tidak hanya tercatat dalam sejarah, tapi juga diabadikan dalam sabda Rasul ï·º: "Wahai Bilal, aku mendengar suara terompahmu di surga.” (HR. Muslim). Allah pun berfirman dalam
QS. Al-Hajj: 58 bahwa mereka yang berhijrah di jalan-Nya dan wafat dalam perjuangan akan mendapat rezeki baik dari-Nya. Bilal adalah bukti bahwa kehormatan di sisi Allah bukan terletak pada rupa atau status, tapi pada teguhnya hati dan jernihnya iman. Dari padang derita ia bersuara, dan suara itu bergema sampai langit — menjadi pelajaran abadi bahwa iman yang kokoh akan selalu menemukan jalannya menuju surga. ANNUR MEDIA